Hmm, sebagai pelepas dahaga saja...
Ini sedikit petikan di Bab 1 yang sempat saya tulis dulu...
Yeah, seabgai pelipur hati teman-teman yang mungkin kangen dengan Novel saya dulu... ^_^
..................................
Dengan agak marah aku segera pergi dari kamar kakak iparku, Zuiver Lattosa, setelah memperoleh kabar dan penjelasan mengenai cincin emas yang sedang kupakai ini. Cincin emas yang pernah menyelamatkanku dari hantaman pemimpin burung reuz, Hirroqla, pada waktu terjadi peperangan antara kerajaan Afzein dengan kerajaan Dombire beberapa hari yang lalu. Aku ingin segera bertemu dengan Romuza dan menanyakan tentang kejadian saat Raja Keinjizie Romein, kakak kandungku sendiri, diculik oleh anak buah dari Ratu Nivera saat sedang sakit. Aku ingin mengetahui alasan, kejadian dan segalanya, kenapa Romuza tidak melindunginya saat peristiwa itu sedang berlangsung.
Aku segera masuk ke dalam istana dan duduk di singgasana yang megah, setelah memerintahkan salah satu pengawal kerajaan untuk memanggilkan Romuza di ruangannya. Aku menantinya dengan agak tak sabar, dan tak seberapa lama kemudian Romuza datang ke hadapanku sambil berlutut dan menundukkan kepala.
“Hamba menghadap, Yang Mulia.” sapanya, lalu aku berkata.
“Bangunlah.”
“Terimakasih, Yang Mulia.”
Romuza segera bangkit sambil mengangkat wajah. Ternyata luka bengkak di hidungnya sudah sembuh. Mungkin ia rajin mengompresnya dengan air garam.
“Kau tahu kenapa kau kupanggil kemari?” kataku, tanpa basa-basi, dan berusaha menahan emosi.
“Tidak, Yang Mulia.” jawab Romuza wajar. “Hamba tidak tahu.”
“Kalau begitu ketahuilah, bahwa tadi aku menemui permaisyuri Zuiver Lattosa untuk menanyakan perihal cincin emas yang sedang kupakai ini. Cincin emas yang telah menyelamatkan nyawaku dan seluruh kehidupan kerajaan Afzein ini, tak terkecuali nyawamu.” terangku. “Mungkin kau tak perlu tahu asal-usul dari cincin ini, tapi kau perlu tahu bahwa permaisyuri Zuiver Lattosa tadi telah mengatakan sesuatu kepadaku, yang sesuatu itu mungkin takkan pernah kau duga sebelumnya kalau aku akan mengetahui semua permasalahan ini.”
Romuza mengernyitkan dahi. Merasa tak mengerti.
“Maafkan atas kebodohan hamba, Yang Mulia.” ujarnya, “Tapi hamba belum mengerti atas apa yang Yang Mulia maksudkan.”
Aku berdiri dan berjalan mendatangi Romuza, sambil menatap cincin emas yang masih melingkar di jemari kelingking sebelah kananku dengan manisnya.
“Permaisyuri Zuiver Lattosa mengatakan bahwa sebenarnya kakak kandungku masih hidup, karena dulu ia diculik oleh salah satu anak buah dari Ratu Nivera, sewaktu sedang sakit.” kataku, agak emosi, sambil menatap wajah Romuza yang mendadak terasa memuakkan. “Kau pasti tahu kejadian itu, karena peristiwa itu berlangsung saat kerajaan Afzein berada di bawah kekuasaanmu.”
Romuza tampak terkejut mendengarnya. Ia tak dapat berkata apa-apa.
“Sekarang cepat ceritakan bagaimana kronologis kejadian yang sebenarnya, kenapa kamu membiarkan kakak kandungku diculik oleh anak buah dari Ratu Nivera yang jahat itu.”
Romuza menundukkan kepalanya dengan sangat-sangat menunduk, hingga seperti kehilangan tulang leher, lalu menjawab dengan wajah pucat karena kalut setelah mendengar bentakanku.
“Hamba… emm… hamba, waktu itu… tak dapat berbuat banyak, Yang Mulia… Istri hamba diculik oleh Ratu Nivera… Dan monster-monster itu mengancam kalau mereka akan membunuh istriku kalau aku melawan…” Romuza berkata dengan terbata-bata. Jawabannya membuatku kesal dan makin marah.
“Kau tidak bersedia mengorbankan nyawamu untuk Rajamu?” kataku, “Kau tidak bersedia berkorban demi kerajaan dan rakyat Afzein yang dulu hidup menderita itu? Padahal kau sendiri tahu, berapa banyak istri dari rakyat Afzein yang mati gara-gara ulahmu itu. Sangat banyak!”
Tiba-tiba saja, dari pintu samping, permaisyuriku yang bernama Tiffany Romein datang menghampiriku—mungkin ia mendengar suaraku yang agak keras sewaktu membentak Romuza tadi. Ia mencoba meredakan amarahku dengan mengajakku duduk di singgasana, dan membicarakannya dengan baik-baik.
Akhirnya aku menuruti kemauan permaisyuriku, namun rasa kesalku belum sirna.
“Lanjutkan omonganmu.” kataku pada Romuza.
Romuza menundukkan kepalanya lagi, seperti gerakan mengangguk, lalu berkata.
“Maafkan hamba, Yang Mulia. Hamba memang patut mati. Tapi, jika saat itu hamba melawan bersama dengan prajurit yang hanya beberapa ratus itu, hamba takut perbuatan itu hanya akan sia-sia. Pasukan dari kerajaan Dombire terlalu banyak dan kuat. Hamba takut nyawa para prajurit itu hanya akan mati sia-sia.”
“Ah, kau memang pintar berkilah, Romuza. Kalau saja aku tak menghormati istrimu, kau sudah kutendang dari kerajaan ini.”
4 komentar:
Ini novel terbaru setelah paimo ya, kak?
Bukan mbak Illa Rizky. Ini adalah kelanjutan dari Novel Mantra.
Novel Mantra itu adalah novel pertamaku. Dan sebenarnya ada yang seri keduanya juga, cuma belum aku buat. hihi. ^_^
Lalu sekarang novel ke dua dari novel mantra apa nama judulnya? Sekarang sudah ada
kasih info kabar lanjutan nya 😊
Posting Komentar